Total Tayangan Halaman

Jumat, 23 Oktober 2009

Desalinasi Air Payau Menggunakan Surfactant Modified Zeolite (SMZ)

Masalah penyediaan air bersih merupakan masalah global yang mendesak untuk segera ditangani. Intrusi air laut di daerah pesisir terutama di Bandar Lampung dan pantai timur Lampung telah menimbulkan masalah penyediaan air minum bagi penduduk. Masalah serupa telah lama ada bagi daerah tambak dan pulau-pulau kecil yang kandungan air tawarnya terbatas. Di daerah tersebut bahan pengotor yang melebihi batas standar air minum adalah Na, Ca, Mg dan Cl.

Penelitian terhadap sumur penduduk di daerah pesisir Teluk Betung menunjukkan bahwa telah terjadi intrusi air laut sampai satu km garis pantai dengan kadar salinitas 1,2 ppt (ppt = part per thousand). Intrusi lebih parah terjadi di daerah pertambakan yang dibangun dengan menebang pohon bakau seperti terjadi di pantai timur Lampung. Salinitas tertinggi sumur penduduk telah mencapai 4 ppt dengan jarak intrusi mencapai 2,5 km dari garis pantai.

Salinity atau salinitas adalah jumlah garam yang terkandung dalam satu kilogram air. Kandungan garam dalam air ini dinyatakan dalam ppt atau part per thousand karena satu kilogram sama dengan 1000 gram. Cara sederhana mengukur salinitas air laut adalah dengan mengukur kadar ion Cl- dalam air dengan titrasi perak nitrat (argentometri). Hasil kadar Cl- digunakan untuk menghitung salinitas dengan rumus :

S = 0,03 + 1,8050 Cl-

Dengan : S = salinitas, ppt.

Cl- = kadar Cl dalam air disebut juga klorinitas, ppt.

Air payau atau brackish water adalah air yang mempunyai salinitas antara 0,5 ppt s/d 17 ppt. Air ini banyak dijumpai di daerah pertambakan, estuary yaitu pertemuan air laut dan air tawar serta sumur-sumur penduduk di pulau-pulau kecil atau pesisir yang telah terintrusi air laut. Sebagai perbandingan, air tawar mempunyai salinitas <>-, Ca, Mg, dan Na.

Air payau yang mengandung Na melebihi batas, misalnya lebih besar dari 200 ppm, jika dikonsumsi dalam waktu yang lama dapat mengganggu kesehatan. Demikian pula jika air tersebut digunakan untuk menyiram tanaman misalnya sayuran, maka hasil panen yang diperoeh berkurang jika dibandingkan dengan hasil penyiraman air tawar. Jumlah penurunan hasil panen tergantung dari besaran salinitas air dan jenis tanaman. Untuk keperluan industri, adanya NaCl dan MgCl2 dalam air yang melebihi batas akan menyebabkan korosi pada pipa-pipa dan peralatan proses.

Proses pertukaran ion dapat digunakan sebagai proses desalinasi untuk memperoleh air minum. Untuk tujuan tersebut diperlukan beberapa persyaratan di antaranya :

· Resin penukar ion atau mineral penukar ion harus mempunyai kapasitas tukar yang tinggi.

· Keperluan asam dan basa untuk regenerasi hendaknya murah

· Pencucian resin setelah regenerasi hendaknya memerlukan air yang sedikit sehingga tidak banyak mengurangi kapasitas operasi resin

· Volume regeneran yang terbuang dapat diminimalisir dan regeneran yang tidak terpakai dapat digunakan lagi di kesempatan berikutnya.

Zeolit adalah mineral alami yang merupakan senyawa alumunium silikat hidrat yang mempunyai luas permukaan yang besar dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Pada awal pemanfaatan proses pertukaran ion dalam industri, resin penukar ion berasal dari senyawa inorganik mineral zeolit. Dengan berkembangnya resin sintetis organik yang berkapasitas tukar kation lebih besar daripada pemakaian mineral zeolit sebagai penukar ion semakin sedikit. Pemakaiannya dapat ditingkatkan jika kapasitas tukar kation dapat ditingkatkan mendekati resin-resin organik dengan harga yang lebih murah.

Dalam pengolahan air payau diperlukan material penukar ion baik kation maupun anion, oleh sebab itu zeolit alam perlu dimodifikasi atau diaktifkan agar dapat menyerap keduanya.

Teknik rinci cara memodifikasi tidak disebutkan dalam literatur mengenai zeolit, secara garis besar terdapat beberapa petunjuk sebagai berikut :

1. Dengan perlakuan asam zeolit dapat dimodifikasi menjadi H-Z atau zeolit dengan kation H+. Bentuk H-Z diperlukan dalam pengolahan air payau untuk menukar Ca, Mg dan Na tanpa menambahkan kation lain selain H+.

2. Zeolit terkenal kemampuannya menyerap NH3. Zeolit yang mengandung NH3 kemungkinan dapat menyerap anion misalnya Cl- dan SO42-.

3. Melakukan modifikasi permukaan dengan surfaktan sebagaimana dilakukan oleh Prof.R.S. Bowman dkk. Mereka mereaksikan surfaktan misalnya hexa decyltrimethylammonium (HDTMA) dengan clinoptilolite menghasilkan SMZ atau Surfactant Modified Zeolite. Sifat yang menarik dari SMZ adalah kemampuannya menyerap anion, senyawa organik dan masih menyisakan kemampuan menyerap kation.

Dari literatur diketahui bahwa SMZ dapat menurunkan konsentrasi arsen dalam limbah dengan recovery 74 – 100% dan konsentrasi surfaktan yang digunakan 42,6 g HDTMA/kg zeolit (Bowman, R.S.). SMZ juga dapat menyerap nitrat dalam air yang tercemarkan oleh pupuk N dan dapat berfungsi sebagai slow-release fertilizer. Dan beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa SMZ dapat menukar logam-logam berat seperti Hg dan Pb serta kontaminan-kontaminan lain baik organik maupun anorganik. Tetapi penggunaan SMZ untuk desalinasi air payau belum pernah diselidiki sehingga dalam penelitian ini dicoba pemakaian SMZ untuk desalinasi air payau.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan zeolit alam Lampung yang telah dimodifikasi dengan surfaktan (Surfactant Modified Zeolite/ SMZ) dalam menurunkan salinitas air payau sehingga dapat berfungsi dalam proses desalinasi air payau.


BAHAN DAN METODE

Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah zeolit alam Lampung jenis clinoptilolite dengan sifat kimia dan fisika sebagai berikut :


  1. Si/Al ratio = 5.117
  2. Cation Exchange Capacity (CEC) = 85.71 meq/100 gr.
  3. Bulk Density = 0.8 gr/cm3
  4. True Density =1.99
  5. Ukuran = 20 – 10 mesh
  6. Komposisi Mineral = Clinoptilolite dan Montmorilonite

Metode Penelitian

Zeolit alam yang akan digunakan diaktivasi (dimodifikasi) terlebih dahulu menggunakan surfaktan jenis hexadecyltrimethylammonium (HDTMA) menghasilkan SMZ atau Surfactant Modified Zeolite. SMZ yang diperoleh akan digunakan untuk menurunkan salinitas air payau yang akan diolah. Sistem yang dipakai adalah pertukaran ion pada tumpukan (bed) SMZ dengan ukuran kolom adalah D = 10 cm dan H = 70 cm. Dalam penelitian ini percobaan dibatasi untuk mengetahui kemampuan SMZ dalam menurunkan salinitas air payau.

Percobaan yang dilakukan masih dalam skala laboratorium dengan variabel yang dipakai adalah :

  1. Konsentrasi surfaktan yang dipakai untuk modifikasi yaitu 0,5%; 1%; 1,5%; 2%; 2,5%; dan 3%
  2. Waktu kontak air payau dengan SMZ
  3. Salinitas awal air payau

Analisa hasil yang dilakukan adalah perubahan salinitas setelah air dilewatkan pada SMZ yang ditunjukkan oleh kadar Cl- dalam air.


Percobaan Pendahuluan

Percobaan pendahuluan ini dimaksudkan sebagai penjajagan awal atau eksplorasi apakah gagasan mengolah air payau (penurunan salinitas air) menggunakan SMZ dapat dilakukan. Proses desalinasi air payau atau air laut yang sudah dikenal dan digunakan selama ini adalah cara distilasi, elektrodialisis, osmosa terbalik (reverse osmosis) menggunakan membran. Metode-metode lain yang juga dapat digunakan adalah evaporasi kilat bertingkat banyak, evaporasi tabung vertikal, kompresi uap, dan kompresi uap vakum-beku. Berhubung mahalnya energi kalor, dewasa ini terjadi pergeseran dari pabrik-pabrik thermal ke osmosis terbalik. Tetapi osmosis terbalik juga masih membutuhkan biaya yang cukup besar karena harus menggunakan membran yang harganya mahal dan dilakukan pada tekanan yang cukup tinggi.

Alternatif yang dapat digunakan dengan biaya yang lebih murah dan proses lebih sederhana adalah metode pertukaran ion. Salah satu penukar ion yang banyak dikenal saat ini adalah zeolit alam karena zeolit alam memiliki kapasitas tukar ion yang tinggi dengan harga yang jauh lebih murah. Tetapi zeolit alam harus dimodifikasi atau diaktifkan terlebih dahulu untuk mendapatkan zeolit termodifikasi yang siap dipakai untuk desalinasi air payau.

Sebagai bahan baku percobaan pendahuluan adalah air payau dengan salinitas 863 ppm. Surfaktan yang digunakan dalam percobaan pendahuluan divariasikan dari 0,5%; 1%; 1,5%; 2%; 2,5% dan 3%.

Dari percobaan pendahuluan yang dilakukan diketahui bahwa pada konsentrasi surfaktan 0,5% s/d 2%, salinitas air tidak berubah walaupun sudah dikontakkan dalam waktu yang cukup lama yaitu ± 24 jam (sehari semalam). Perubahan salinitas terjadi jika digunakan SMZ yang modifikasinya menggunakan surfaktan dengan konsentrasi 2,5% (18,25 g surfaktan/kg zeolit). Untuk mengetahui harga optimal konsentrasi surfaktan yang harus digunakan, maka dicoba dilakukan peningkatan konsentrasi surfaktan yang digunakan sampai 3% dan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada konsentrasi 3%, kemampuan SMZ untuk menukar ion Cl tidak jauh berbeda dengan SMZ dengan konsentrasi surfaktan 2,5% sehingga konsentrasi surfaktan yang digunakan pada percobaan selanjutnya adalah 2,5%.

Proses pertukaran ion Cl yang terjadi pada permukaan air payau dapat dilihat pada gambar 2 berikut.

Selain digunakan untuk menukar NaCl, pada percobaan pendahuluan ini juga dicoba penggunaan SMZ untuk menukar ion yang lain yang mungkin terdapat pada air payau atau pun air sadah yaitu ion Mg dan Ca. Percobaan ini menunjukkan hasil bahwa SMZ juga mempunyai kemampuan untuk menurunkan kandungan ion Mg dan Ca yang ada dalam air. Dalam hal ini, konsentrasi SMZ yang digunakan bisa dipakai mulai dari 0,5%. Hasil percobaan menunjukkan bahwa SMZ dapat menurunkan kadar ion Mg sampai 26,3% dari kadar awal dan menunrunkan kadar ion Ca sampai 59,1% dari kadar awal.

Desalinasi Air Payau Menggunakan SMZ

Dari percobaan pendahuluan diketahui bahwa SMZ (surfactant modified zeolite) dapat digunakan untuk menurunkan salinitas air. Konsentrasi surfaktan yang digunakan untuk modifikasi zeolit adalah 2,5%. Setelah dilakukan modifikasi dengan konsentrasi yang telah ditetapkan tersebut, maka diperoleh SMZ yang siap digunakan untuk menurunkan salinitas air payau. Debit air yang digunakan adalah 250 ml/jam. Hasil percobaan dapat dilihat pada gambar 3 berikut.

Gambar 3 menunjukkan bahwa SMZ memiliki kemampuan untuk menurunkan salinitas air payau. Hasil yang paling optimal diperoleh pada waktu kontak 4 jam dengan konversi optimal 52%. Setelah waktu kontak 4 jam, kemampuan SMZ mulai menurun. Hal ini diperlihatkan dari grafik bahwa setelah 4 jam, salinitas air mulai naik lagi mendekati salinitas awal. Oleh karena itu, operasi berlangsung sampai 4 jam dan setelah itu SMZ yang digunakan harus diganti dengan SMZ yang baru. Tetapi SMZ yang telah dipakai dapat diregenerasi kembali menggunakan beberapa cara, salah satunya adalah menggunakan kapur.

Proses yang dilakukan pada penelitian ini masih skala laboratorium sehingga harus diintegrasi ke skala yang lebih besar agar dapat diaplikasikan di masyarakat untuk digunakan dalam proses pengolahan air payau.


KESIMPULAN DAN SARAN

Dari studi literatur dan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1. Zeolit alam dari Kalianda, Lampung Selatan yang dianalisa terdiri dari mineral Clinoptilolite dan Montmorilonite dengan KTK = 85 meq/ 100 gram

2. Secara kualitatif telah ditunjukkan bahwa air payau dan air laut dapat diolah menjadi air tawar menggunakan SMZ dengan prinsip pertukaran ion.

3. Konsentrasi surfaktan yang optimal untuk modifikasi zeolit adalah 2,5% dan kondisi operasi yang optimal yang dapat digunakan untuk menurunkan salinitas air adalah waktu kontak 4 jam.

4. Konversi maksimum yang berhasil diperoleh adalah penurunan salinitas air sampai 52% dari kadar awal.

5. Sampai pada tahap penelitian ini dapat dikatakan bahwa mineral zeolit alam sudah dapat dimanfaatkan untuk mengolah air payau menjadi air minum.


Adil Jamali, Widi Astuti dan Muhammad Amin

UPT. Balai Pengolahan Mineral Lampung – LIPI


Kamis, 22 Oktober 2009

SAMPLING KUALITAS UDARA



Teknik sampling kualitas udara dilihat lokasi pemantauannya terbagi dalam dua kategori yaitu teknik sampling udara emisi dan teknik sampling udara ambien. Sampling udara emisi adalah teknik sampling udara pada sumbernya seperti cerobong pabrik dan saluran knalpot kendaraan bermotor. Teknik sampling kualitas udara ambien adalah sampling kualitas udara pada media penerima polutan udara/emisi udara.

Untuk sampling kualitas udara ambien, teknik pengambilan sampel kualitas udara ambien saat ini terbagi dalam dua kelompok besar yaitu pemantauan kualitas udara secara aktif (konvensional) dan secara pasif. Dari sisi parameter yang akan diukur, pemantauan kualitas udara terdiri dari pemantauan gas dan partikulat.

Pemantauan parameter partikulat secara konvensional (aktif sampling) metoda passive sampling dapat dijelaskan sebagai berikut :


1. Metoda Pengujian Partikulat dari Udara Ambien secara Aktif

Partikulat atau debu adalah suatu benda padat yang tersuspensi di udara dengan ukuran dari 0,3 µm sampai 100 µm, berdasarkan besar ukurannya partikulat (debu) ada dua bagian besar yaitu debu dengan ukuran lebih dari 10 µm disebut dengan debu jatuh (dust-fall) sedang debu yang ukuran partikulatnya kurang dari 10 µm disebut dengan Suspended Partikulate Matter (SPM). Debu yang ukurannya kurang dari 10 µm ini bersifat melayang-layang di udara.

Peralatan yang dipakai untuk melakukan pengukuran debu SPM (melayang-layang) ada 4 jenis alat diantaranya :

  • HVS (High Volume Sampler)
Cara ini dikembangkan sejak tahun 1948 menggunakan filter berbentuk segi empat seukuran kertas A4 yang mempunyai porositas 0,3 - 0,45 µm dengan kecepatan pompa berkisar 1.000 – 1.500 lpm. Pengukuran berdasarkan metoda ini untuk penentuan sebagai TSP (Total Suspended Partikulate). Alat ini dapat digunakan selama 24 jam setiap pengambilan contoh udara ambien.

Cara operasional alat ini adalah sebagai berikut :

  1. Panaskan kertas saring pada suhu 105 oC, selama 30 menit.
  2. Timbang kertas saring, dengan neraca analitik pada suhu 105 oC dengan menggunakan vinset (Hati-hati jangan sampai banyak tersentuh tangan)
  3. Pasangkan pada alat TSP, dengan membuka atap alat TSP. Kemudian dipasangkan kembali atapnya.
  4. Simpan alat HVS tersebut pada tempat yang sudah ditentukan sebelumnya .
  5. Operasikan alat dengan cara, menghiduo (pada posisi ”On” ) pompa hisap dan mencatat angka flow ratenya (laju alir udaranya).
  6. Matikan alat sampai batas waktu yang telah ditetapkan.
  7. Ambil kertasnya, panaskan pada oven listrik pada suhu Timbang kertas saringnya.
  8. Hitung kadar TSPnya sebagai mg/NM3
  9. Metoda penggunaan alat ini bisa juga dilakukam, terhadap pm 10 atau pun dilanjutkan pada pengukuran parameter logam.

  • MVS (Middle Volume Sampler).
Cara ini menggunakan filter berbentuk lingkaran (Bulat) dengan porositas 0,3-0,45 µm, kecepatan pompa yang dipakai untuk pengangkapan suspensi Particulate Matter ini adalah 50 – 500 lpm.

Operasional alat ini sama dengan High Volume Sampler, hanya yang membedakan dari ukuran filter membrannya. HVS ukuran A 4 persegi panjang, sedang MVS ukuran bulat diameter 12 cm.

  • LVS (Low Volume Sampler)
Cara ini menggunakan filter berbentuk lingkaran (Bulat) dengan porositas 0,3-0,45 µm, kecepatan pompa yang dipakai untuk pengangkapan Suspensi Partikulate Matter ini adalah 10 – 30 lpm.

Dikutip dari situs resmi BPLHD Jawa Barat